Bangsa
yang kuat adalah bangsa yang mempunyai pertahanan dengan alat utama
sistem senjata yang mumpuni, diiringi dengan pemaksimalan energi dari
sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia yang andal, hingga
berdampak pada kemajuan ekonomi.
Meski sempat mengalami kemunduran pascakrisis moneter, produksi alutsista oleh Badan Usaha Milik Negara Industri Strategis (BUMNIS) dan Badan Usaha Milik Negara Industri Pertahanan (BUMNIP) yaitu PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia (DI) telah mengalami kemajuan saat ini.
PT Pindad ke depan misalnya berencana membuat amunisi kaliber besar. PT PAL dipercayakan menggarap kerja sama pembuatan kapal selam dengan Korea Selatan dan PT DI mendapatkan proyek pembuatan sembilan pesawat CN 295.
Hal yang sama dialami produsen alutsista dalam negeri sektor swasta seperti pembuatan Kapal Cepat Rudal produksi PT Palindo seharga Rp 73 miliar yang memiliki kecepatan 30 knots dengan jarak tembak sasaran rudal C705 mencapai 70 km.
Saat ini satu KCR yang diberi nama KRI Celurit telah beroperasi di bawah komando Armabar. Ada pula pembuatan kapal Trimaran yaitu kapal antiradar dengan tiga lambung asal Swedia yang dibuat perusahaan swasta di Banyuwangi.
Seiring dengan meningkatnya pembelian alutsista dari luar negeri untuk modernisasi pertahanan, jumlah pinjaman luar negeri pun mengalami pembengkakan. Anggaran pertahanan tahun 2012 yang mencapai Rp 72,5 triliun di mana US$ 6,5 miliar di antaranya berasal dari utang luar negeri ini dikritik Komisi I DPR.
Sumber Pinjaman
DPR menilai pemerintah
terlalu bergantung utang luar negeri untuk modernisasi alat utama sistem
persenjataan (alutsista), sementara masih banyak sumber pinjaman dari
dalam negeri.
Anggota Komisi I DPR Enggartiasto Lukita di DPR, Senin (30/1), berpendapat keputusan pemerintah yang terus mencari utang luar negeri untuk pembiayaan modernisasi alutsista TNI akan menyebabkan Indonesia semakin tidak berdaya atas peranan asing dalam urusan dalam negeri.
Menurut Enggar, salah satu sumber pinjaman misalnya melalui Bank Mandiri yang ketika dipimpin Agus Martowardojo pernah menawarkan pinjaman untuk modernisasi alutsista.
Dari anggaran tahun 2012 yang mencapai Rp 72,5 triliun, terdiri dari rupiah murni sebesar Rp 56,2 triliun dan rupiah murni pendamping Rp 4,2 triliun. Anggaran yang bersumber dari pinjaman dalam dan luar negeri tahun ini sebesar Rp 11,9 triliun. Dari uang hasil utang itu, alokasi utang luar negeri sebesar US$ 6,5 miliar, namun yang telah disetujui sebesar US$ 5,7 miliar.
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq mengatakan, peningkatan anggaran untuk Kementerian Pertahanan (Kemenhan) harus bisa berdampak bagi kesejahteraan masyarakat seperti penyerapan tenaga kerja dari dalam negeri.
”Peningkatan anggaran untuk modernisasi alutsista bagi TNI semestinya mampu berdampak signifikan bagi kegiatan ekonomi dalam negeri, yang pada gilirannya mampu memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan mengatasi pengangguran,” ujarnya.
Kemenhan memaparkan pembelian alutsista luar negeri diperlukan untuk memperkuat pertahanan negara serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Dengan adanya transfer teknologi akan membuat kemampuan Indonesia dalam memproduksi alutsista menjadi meningkat.
"Alutsista yang harus dibeli dari luar negeri karena BUMNIP dan BUMNIS belum mampu memproduksi. Itu pun kita membeli dengan syarat transfer of technology (ToT) atau offset. Karena kalau kita beli dalam negeri, tidak dijual. Contoh, meriam, peluru, Pindad tidak bisa. Senjata juga baru bisa dibeli dari senjata ringan. Pesawat juga, yang bisa kita beli dari dalam seperti CN 295 atau Puma, kita pesan dari DI," kata Hartind, Karo Humas Kemenhan, Selasa (31/1).
Namun, Hartind memastikan Kemenhan melalui High Level Committee yang diketuai Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin akan melakukan pembicaraan mendalam dengan Kementerian Keuangan untuk memaksimalkan pinjaman dalam negeri untuk pembelian alutsista.
Pendapat senada disampaikan pengamat pertahanan dari CSIS, Alexandera Retno Wulan. Ia menilai tingginya pinjaman luar negeri karena kredit ekspor (KE) alutsista adalah hal wajar mengingat ketidakmampuan produksi alutsista modern di dalam negeri. Selama utang luar negeri berasal langsung dari negara produsen alutsista menurutnya tidak menyalahi aturan.
Dia menuturkan, permasalahan industri militer memang kompleks, mulai dari suku cadang, komponen, integrator atau perakitan (assembly). Meski terciptanya kemandirian alutsista dalam negeri dirasakan sangat ideal, hal itu tak semudah membalikkan tangan.
"Prosesnya tidak satu atau 10 tahun saja. Industri militer memang kompleks, mulai dari suku cadang, komponen, integrator atau perakitan," tuturnya.
Anggota Komisi I DPR Enggartiasto Lukita di DPR, Senin (30/1), berpendapat keputusan pemerintah yang terus mencari utang luar negeri untuk pembiayaan modernisasi alutsista TNI akan menyebabkan Indonesia semakin tidak berdaya atas peranan asing dalam urusan dalam negeri.
Menurut Enggar, salah satu sumber pinjaman misalnya melalui Bank Mandiri yang ketika dipimpin Agus Martowardojo pernah menawarkan pinjaman untuk modernisasi alutsista.
Dari anggaran tahun 2012 yang mencapai Rp 72,5 triliun, terdiri dari rupiah murni sebesar Rp 56,2 triliun dan rupiah murni pendamping Rp 4,2 triliun. Anggaran yang bersumber dari pinjaman dalam dan luar negeri tahun ini sebesar Rp 11,9 triliun. Dari uang hasil utang itu, alokasi utang luar negeri sebesar US$ 6,5 miliar, namun yang telah disetujui sebesar US$ 5,7 miliar.
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq mengatakan, peningkatan anggaran untuk Kementerian Pertahanan (Kemenhan) harus bisa berdampak bagi kesejahteraan masyarakat seperti penyerapan tenaga kerja dari dalam negeri.
”Peningkatan anggaran untuk modernisasi alutsista bagi TNI semestinya mampu berdampak signifikan bagi kegiatan ekonomi dalam negeri, yang pada gilirannya mampu memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan mengatasi pengangguran,” ujarnya.
Kemenhan memaparkan pembelian alutsista luar negeri diperlukan untuk memperkuat pertahanan negara serta meningkatkan kemampuan sumber daya manusia. Dengan adanya transfer teknologi akan membuat kemampuan Indonesia dalam memproduksi alutsista menjadi meningkat.
"Alutsista yang harus dibeli dari luar negeri karena BUMNIP dan BUMNIS belum mampu memproduksi. Itu pun kita membeli dengan syarat transfer of technology (ToT) atau offset. Karena kalau kita beli dalam negeri, tidak dijual. Contoh, meriam, peluru, Pindad tidak bisa. Senjata juga baru bisa dibeli dari senjata ringan. Pesawat juga, yang bisa kita beli dari dalam seperti CN 295 atau Puma, kita pesan dari DI," kata Hartind, Karo Humas Kemenhan, Selasa (31/1).
Namun, Hartind memastikan Kemenhan melalui High Level Committee yang diketuai Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin akan melakukan pembicaraan mendalam dengan Kementerian Keuangan untuk memaksimalkan pinjaman dalam negeri untuk pembelian alutsista.
Pendapat senada disampaikan pengamat pertahanan dari CSIS, Alexandera Retno Wulan. Ia menilai tingginya pinjaman luar negeri karena kredit ekspor (KE) alutsista adalah hal wajar mengingat ketidakmampuan produksi alutsista modern di dalam negeri. Selama utang luar negeri berasal langsung dari negara produsen alutsista menurutnya tidak menyalahi aturan.
Dia menuturkan, permasalahan industri militer memang kompleks, mulai dari suku cadang, komponen, integrator atau perakitan (assembly). Meski terciptanya kemandirian alutsista dalam negeri dirasakan sangat ideal, hal itu tak semudah membalikkan tangan.
"Prosesnya tidak satu atau 10 tahun saja. Industri militer memang kompleks, mulai dari suku cadang, komponen, integrator atau perakitan," tuturnya.
Bahan Baku
Salah
satu sektor terkendalanya alutsista dalam negeri, khususnya terkait
bahan peledak, adalah terbatasnya kemampuan pemenuhan bahan baku peledak
yaitu amonium nitrat yang mencapai 700.000 ton per tahun untuk memenuhi
kebutuhan peledak komersial dan militer.
Dengan produksi perdana PT Kaltim Nitrate Indonesia (KNI) di Bontang Kalimantan Timur yang diresmikan Wamenhan, Rabu (25/1) lalu, menjadi harapan baru pemenuhan bahan baku peledak dari dalam negeri.
Seperti diketahui, PT Pindad selama ini telah mampu memproduksi bahan peledak dengan mengandalkan bahan baku impor.
Dengan produksi perdana PT Kaltim Nitrate Indonesia (KNI) di Bontang Kalimantan Timur yang diresmikan Wamenhan, Rabu (25/1) lalu, menjadi harapan baru pemenuhan bahan baku peledak dari dalam negeri.
Seperti diketahui, PT Pindad selama ini telah mampu memproduksi bahan peledak dengan mengandalkan bahan baku impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar