OPTIMALISASI
PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM MELAKSANAKAN KEBIJAKAN PANGAN DAPAT
MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
1. Pendahuluan
a.
Latar Belakang Masalah.
Kepemimpinan adalah hubungan seseorang dengan pemimpinnya, dimana pemimpin tersebut dapat mempengaruhi untuk bekerja bersama-sama secara ikhlas”. (George R. Terry)[1]. Sementara kepemimpinan
nasional diartikan sebagai kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan
nasional didalam setiap gatra pada bidang profesi baik di supra struktur,
infra struktur maupun sub struktur, baik formal maupun informal yang
memiliki kemampuan
dan kewenangan untuk mengarahkan dan mengerahkan
segenap potensi kehidupan nasional (bangsa dan negara), dalam rangka
pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta
memperhatikan dan memahami perkembangan
lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam
memanfaatkan peluang[2]. Pembangunan
nasional dilaksanakan meliputi seluruh aspek kehidupan dengan tujuan terjaminnya
ketersediaan sandang, pangan dan papan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pangan merupakan
kebutuhan dasar utama manusia, oleh karena itu pemenuhan pangan merupakan
bagian dari hak asasi individu. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan sampai dengan individu,
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta sesuai dengan keyakinan, budaya,
dan selera, untuk dapat hidup sehat dan aktif. Saat ini ketersediaan pangan
belum mampu mewujudkan ketahanan pangan sampai dengan tingkat individu.
Tantangan pangan Indonesia semakin hari semakin kompleks. Pada satu sisi,
peningkatan permintaan bahan pangan terus terjadi seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya daya beli dan selera masyarakat
akan bahan pangan. Di sisi lain, penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya
lahan, tambak dan air, menjadi kendala dan keterbatasan dalam meningkatkan
kemampuan produksi komoditas pangan. BPS, Bappenas RI, dan PBB memperkirakan pada tahun 2050, penduduk
Indonesia mencapai 2,1 kali jumlah penduduk tahun 2000 atau mencapai 434 juta
jiwa. Itu artinya perlu ratusan juta haktar lahan dan inovasi-inovasi baru
dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan ratusan juta mulut rakyat Indonesia
tersebut. Seandainya kebutuhan akan pangan itu tidak dapat dipenuhi oleh
negara, maka cepat atau lambat dimungkinkan akan terjadi kerusuhan sosial yang
luar biasa hebat terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan itu sendiri.
b.
Identifikasi Masalah.
Selain semakin terbatasnya kemampuan
produksi untuk memenuhi permintaan pangan nasional, kedepan akan dihadapkan pula pada
tantangan dalam menjaga stabilitas harga pangan dan masih belum meratanya
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Dengan tingkat ketergantungan yang
sangat tinggi pada produk-produk pangan impor, Pemerintah Indonesia akan sangat rentan terhadap perubahan
pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional. Gejolak harga ini
bertambah buruk dimana belum meratanya pola distribusi antar daerah-antar
waktu, dan juga ditengah tantangan fenomena perubahan iklim yang mengancam
dunia. Instabilitas harga ini tentunya akan berdampak pada rakyat kecil yang
tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pangan dengan harga yang tinggi.
Konsep ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat
dilihat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan,
Pasal 1 Ayat 17,
menyebutkan bahwa ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata,
dan terjangkau. Undang-Undang tentang pangan nasional sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian
PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bahwa perlu akses kepada setiap individu untuk dapat
memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Sementara ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap rumah tangga atau
individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu, untuk keperluan
hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai
dengan nilai atau budaya setempat serta kearifan lokal. Konsep
ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.7 tahun 1996, memberi penekanan pada akses setiap rumah tangga terhadap pangan
yang cukup, bermutu, dan harganya terjangkau, meskipun kata-kata rumah tangga belum menjamin
setiap individu mendapat akses yang sama terhadap pangan.
c.
Rumusan Pokok Masalah.
Implikasi kebijakan dari konsep ini
adalah bahwa Pemerintah,
di satu pihak, berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti , jumlah dengan
mutu yang baik serta terjaganya stabilitas harga, dan di pihak lain dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat,
khususnya dari golongan berpendapatan rendah. Kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan pangan membutuhkan peran kepemimpinan dalam rangka mempengaruhi masyarakat untuk bekerja bersama-sama dalam membuat kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan bagi kepentingan umum dan petani sehingga dapat mewujudkan ketahanan
pangan nasional.
Rumusan pokok masalah berkaitan dengan peran
kepemimpinan nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, antara lain kebijakan pangan masih belum menyentuh kepentingan rakyat, walaupun prioritas
pertama program Kabinet Indonesia Bersatu II pada Renstra tahun 2009 – 2014 adalah mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (prosperity) namun jumlah
penduduk yang masih berada dibawah garis kemiskinan masih cukup besar, perencanaan pangan masih belum terintegrasi,
aspek ketersediaan, keterjangkauan dan konsumpsi pangan masih belum dibina
dengan baik, sehingga perlu optimalisasi peran kepemimpinan nasional.
2.
Pembahasan.
a.
Teori Kepemimpinan
dan Pengaruhnya Terhadap Pangan.
Memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji
sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara
efektif serta menunjang kepada produktifitas organisasi secara keseluruhan
termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pengaruh terhadap ketahanan pangan. Seorang
pemimpin negara maupun pemimpin daerah harus mengerti tentang teori
kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan tugas yang
berkaitan dengan ketahanan pangan.
Pada
prinsipnya pengertian kepemimpinan nasional tidak jauh berbeda dari
pengertian kepemimpinan terhadap organisasi, hanya
luas cakupan dan landasan serta prioritasnya yang berbeda. Sementara ini
kepemimpinan nasional diartikan adalah kelompok pemimpin bangsa pada segenap
strata kehidupan nasional didalam setiap gatra pada Asta Gatra pada bidang/sektor profesi baik di supra
struktur, infra struktur maupun sub struktur,
formal dan informal. Tujuan kepemimpinan adalah agar mampu
melakukan proses memanfaatkan semua sumber daya yang
dimiliki (empowerment all resources) bangsa menuju tercapainya cita-cita
nasional sesuai moral & etika Pancasila dan UUD’45 ditengah perubahan dunia.
Dalam setiap aspek kepemimpinan, pada setiap langkah dan permasalahan ketahanan pangan selalu
terdapat tiga unsur yang saling berkait
yaitu[3]
:
a.
Unsur manusia, yaitu manusia yang melaksanakan kegiatan memimpin
atas sejumlah manusia lain atau manusia yang memimpin dan manusia yang dipimpin dalam kapasitas
pemenuhan kebutuhan pangan. Unsur manusia
sangat berperan dalam permasalahan pangan, terutama di negara yang sedang
berkembang, hal ini tidak terlepas pada faktor yang berkaitan dengan lingkungan
sosial, budaya turun temurun serta latar belakang pendidikan.
b.
Unsur sarana, yaitu prinsip dan teknik kepemimpinan yang
digunakan dalam pelaksanaan kepemimpinan, termasuk bakat dan
pengetahuan serta pengalaman. Dalam aspek
ketahanan pangan, unsur sarana lebih dominan pada proses pengambilan keputusan atau
berkaitan perundang-undangan tentang pangan.
c.
Unsur tujuan, merupakan sasaran kearah mana kelompok
manusia tersebut
digerakkan menuju kesuatu maksud tertentu yang hendak dicapai bersama. Tujuan pembangunan
ketahanan pangan adalah mencapai ketahanan dalam bidang pangan dalam kondisi
terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dari produksi pangan nasional yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, jumlah dan mutu, aman, merata dan
terjangkau seperti diamanatkan dalam Undang-Undang tentang pangan.
b.
Permasalahan
Kebijakan Pangan Nasional.
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia
yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah
satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 Undang-Undang
Dasar 1945 maupun
dalam Deklarasi Roma tahun 1996 tentang ketahanan pangan dunia. Sebagai
kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang
sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Perbandingan
antara kurangnya ketersediaan pangan dengan makin meningkatnya kebutuhan, dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi maupun politik. Berbagai gejolak sosial
dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis
ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan
Pemerintah yang sedang berkuasa.
Pengalaman
telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya
kenaikan harga beras dan berbagai bahan pokok
lainnya pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, telah
berkembang menjadi krisis multi dimensi, yang selanjutnya memicu
kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Pangan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang
ekonomi berupa penyerapan
tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi, lingkungan yaitu menjaga tata guna air dan udara bersih serta sosial politik sebagai
perekat bangsa, ketertiban dan keamanan masyarakat. Beras dan
beberapa bahan pokok lainnya merupakan sumber utama pemenuhan
gizi yang meliputi kalori,
protein, lemak, dan vitamin.
Ketersediaan beras sebagai komoditas pangan strategis, belum mampu
mewujudkan ketahanan pangan sampai dengan tingkat individu, sehingga Pemerintah
melaksanakan kebijakan-kebijakan diantaranya dengan impor beras. Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), walaupun sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus, tetapi impor
beras terus dilakukan. Sampai bulan Juli tahun 2011[4],
Pemerintah telah melakukan pengadaan beras melalui impor sebanyak 1,57 juta
ton. Beras impor tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton
dengan nilai USD 452,2 juta, dari Thailand sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai USD 364,1
juta.
Pemerintah
selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangannya dari produksi dalam
negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena
jumlah penduduknya semakin membesar dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan
geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah
mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria kecukupan konsumsi maupun
persyaratan operasional logistik. Kegiatan pengelolaan pangan oleh Pemerintah
seringkali mendapat kritik karena adanya ketidak-sempurnaan kegiatan-kegiatan
intervensi itu sendiri,
baik yang disebabkan oleh kelemahan dalam proses penyusunan kebijakannya maupun
karena akibatnya yang akan menimbulkan distorsi pasar. Intervensi
akan dianggap rasional kalau dilakukan
dalam keadaan defisit pangan atau jika terjadi surplus produksi yang
berlebihan, dan jika infrastruktur pemasaran dan kelembagaan tidak cukup
berkembang serta kompetitif
untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Kemudahan mewujudkan
ketersediaan pangan, stok pangan dunia yang tersedia serta kemungkinan
alternatif baru bentuk program stabilisasi harga, mendorong berbagai pihak
untuk selalu mengevaluasi kembali kebijakan pangan Pemerintah. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia sejak lama telah menetapkan bahwa ketahanan
pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional. Sampai sekarang pun,
tujuan itu masih dilanjutkan seperti yang tertuang dalam RPPK (Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) dan RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka
Menengah Nasional).
c.
Optimalisasi Peran
Kepemimpinan Nasional Dalam Melaksanakan Kebijakan Pangan Dapat Mewujudkan
Ketahanan Pangan Nasional.
Berdasarkan tulisan Menteri Negara
PPN/ Kepala Bappenas yang dimuat
Harian Media Indonesia tanggal 3 Februari 2009 terdapat 5 masalah besar yang
menghadang NKRI disamping Terorisme terhadap suksesnya
Pembangunan Nasional adalah pertama, kemiskinan. kedua, lingkungan hidup. ketiga, utang. keempat, penegakan hukum. dan kelima, demokratisasi dan otonomi daerah[5]. Kemiskinan
menjadi permasalahan terbesar, di
Indonesia, kelaparan merupakan aspek yang paling menggambarkan kemiskinan. Seseorang
mengalami kekurangan pangan atau kelaparan karena tidak adanya kemampuan untuk
mempunyai cukup pangan. Secara lebih sederhana, kemiskinan dapat diartikan
sebagai kekurangan pangan atau papan yang dibutuhkan untuk mempertahankan
hidup. World Bank menyebutkan bahwa
kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi standar hidup minimal
dan merupakan kesenjangan dari hidup sederhana. Salah satu kunci mengakhiri kemiskinan yang juga disebut
kemelaratan adalah
dengan melibatkan dan memberi peran kepada keluarga miskin dalam pembangunan.
Namun biasanya orang miskin memiliki keterbatasan dalam hal kepemilikan dan
akses sumber daya, modal, infrastruktur, pengetahuan, dan kelembagaan. Mereka
hanya memiliki aset yang sifatnya marjinal dan biasanya hidup di daerah
terpencil atau di wilayah dengan fasilitas umum terbatas. Kemiskinan terjadi
karena adanya kesenjangan pendapatan dengan pendapatan minimum untuk hidup
secara layak, yang disebut sebagai kesenjangan kemiskinan. Dalam program
penanggulangan kemiskinan, kesenjangan inilah yang harus dikurangi atau dihilangkan. Hilangnya kesenjangan tersebut menggambarkan terangkatnya tingkat
kesejahteraan keluarga untuk lepas
dari status miskin. Beras
merupakan salah satu komponen penting dalam pengukuran kemiskinan. Dasar
perhitungan garis kemiskinan adalah kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal.
Dengan pertimbangan 24% dari 2.100 kkal tersebut berasal dari beras, maka jika harga beras naik, kebutuhan rupiah untuk membeli beras
juga akan bertambah sehingga tingkat kemiskinan makin membesar.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan
bahwa dari komponen
garis kemiskinan yang terdiri dari garis kemiskinan makanan dan garis
kemiskinan non-makanan, terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih
besar dibandingkan komoditi bukan makanan.
Program Kabinet
Indonesia Bersatu II pada Renstra tahun 2009 –
2014 yang menjadi agenda untuk direalisasikan, adalah
mewujudkan 3 (tiga) agenda
untuk lima tahunan, meliputi :
1)
Peningkatan kesejahteraan masyarakat (prosperity)
2)
Penguatan kualitas pembangunan demokrasi (democracy)
3)
Peningkatan kualitas penegakan hukum dan keadilan (justice)
Peningkatan kesejahteraan masyarakan merupakan agenda yang pertama dalam program
Kabinet Indonesia Bersatu II untuk mengurangi
jumlah penduduk yang masih berada dibawah garis kemiskinan, mengingat permasalahan
kekurangan pangan sangat berkaitan dengan kemiskinan.
Kepemimpinan
nasional Indonesia sebagai sebuah sistem, mengandung arti
statik maupun dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statis, sistem kepemimpinan
nasional adalah keseluruhan komponen bangsa secara hierarkhial vertikal maupun pada
tatanan komponen bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya,
dan pertahanan keamanan. Selanjutnya dalam sistem yang bersifat dinamik,
sistem kepemimpinan nasional adalah keseluruhan aktifitas
kepemimpinan nasional yang berporos dari dan komponen proses transformasi
(interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan akhirnya keluar dalam bentuk
orientasi kepemimpinan
yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Sistem kepemimpinan nasional harus bersumber dan
berkembang dari paradigma
nasional yang bermuara nilai-nilai moral dan etika kepemimpinan dan terkendali dengan gaya dan orientasi
kepemimpinan serta tanggap terhadap
perkembangan lingkungan strategis baik internal (nasional dan lokal) maupun eksternal (global dan regional). Karena itu
visi, misi strategik dan orientasi kepemimpinan nasonal haruslah menjamin sentra Sistem Manajemen Nasional
(Sismennas) dalam rangka meningkatkan
ketahanan nasional untuk pencapaian tujuan dan cita-cita nasional.
Aktualisasi sistem kepemimpinan nasional dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sangat tergantung kepada para pelakunya yang
menyatukan pola berpikir, bersikap dan bertindak dalam kerangka paham
konstitusional, prinsip keterbukaan dan kebebasan bertanggung
jawab, prinsip kebersamaan, fungsionalisasi kelembagaan, dan mekanisme
keseimbangan, prinsip konsistensi dan
kepastian hukum. Aktualisasi sistem kepemimpinan nasional dalam kerangka tersebut menjadi
penting bagi mereka yang menjadi pelaku kepemimpinan nasional pada
tatanan politik nasional (TPN), tatanan administrasi negara (TAN) dan
tatanan laksana pemerintahan
(TLP) pada era reformasi masa kini dan esok.
Sistem ketahanan pangan nasional mencakup aspek
ketersediaan pangan, keterjangkauan (distribusi) pangan serta aspek konsumsi. Optimalisasi peran kepemimpinan
nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, antara lain:
1)
Melaksanakan perencanaan pangan secara
terintegrasi, mulai dari pusat, daerah maupun sektoral, yang melibatkan partisipasi
masyarakat. Peran dan fungsi Pemerintah Daerah dalam pembangunan pangan diatur
sesuai dengan peraturan perundangan. Rencana pangan harus memperhatikan pertumbuhan
dan sebaran penduduk, kebutuhan konsumsi pangan dan gizi, daya dukung sumber daya
alam, kemajuan teknologi, kelestarian lingkungan, pengembangan SDM dalam pembangunan
pangan, kebutuhan sarana dan prasarana pembangunan pangan, potensi dan budaya
pangan lokal, rencana tata ruang wilayah serta rencana pembangunan nasional dan
daerah.
2)
Pada aspek ketersediaan pangan,
melalui:
a)
Pemimpin nasional dan aparat
Pemerintahan pusat maupun daerah harus bertanggung jawab atas
ketersediaan pangan di seluruh wilayah NKRI serta pengembangan
produksi pangan lokal di daerah.
b)
Pemerintah harus mampu menjaga stabilisasi
pasokan dan harga pangan pokok, cadangan pangan serta distribusi pangan pokok
untuk menjamin kecukupan pangan masyarakat.
c)
Pemerintah berupaya mewujudkan produksi
pangan dengan mengembangkan produksi pangan yang bertumpu pada sumber daya,
kelembagaan dan budaya dan kearifan lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha
pangan, mengembangkan sarana, prasarana dan teknologi, mempertahankan dan mengembangkan lahan
produktif serta membangun kawasan sentra produksi pangan.
d)
Pemerintah harus mampu menjaga agar
sumber penyediaan pangan utama berasal dari produksi dalam negeri, yang
didukung oleh cadangan pangan yang proporsional.
e)
Pemasukan pangan dari luar negeri
harus diatur sedemikian rupa agar jangan sampai mengganggu stabilitas harga
pangan nasional, serta dilaksanakan tepat waktu agar jangan sampai dilaksanakan
pada saat petani panen raya. Kebijakan impor pangan hanya dilaksanakan untuk
kedaruratan serta dalam rangka memenuhi kebutuhan cadangan pangan nasional.
f)
Kepemimpinan nasional harus mampu melindungi
dan memberdayakan petani dan nelayan sebagai produsen pangan.
g)
Pemerintah berkewajiban
mengantisipasi dan menanggulangi ancaman produksi pangan, yang dapat menimbulkan
gagalnya produksi pangan, melalui bantuan teknologi, bantuan pembiayaan maupun
pengaturan regulasi yang berpihak kepada kepentingan nasional dalam rangka
pemberdayaan petani.
3)
Pada aspek keterjangkauan pangan
nasional, melalui:
a)
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin
keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan individu,
meliputi aspek distribusi, pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan
harga pangan pokok serta bantuan pangan.
b)
Pemerintah harus membuat kebijakan dalam pengendalian harga pangan pokok dalam
rangka menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen dan
konsumen, untuk melindungi pendapatan petani serta
menjaga daya beli konsumen, melalui penetapan
harga di tingkat produsen dan konsumen, pengelolaan
cadangan pangan Pemerintah, insentif
perpajakan, kebijakan penerapan tarif dan bea masuk, peningkatan kelancaran distribusi serta pengendalian impor dan ekspor pangan.
c)
Mengoptimalkan Dewan Ketahanan Pangan
Nasional dalam rangka memperbaiki sarana dan prasarana transportasi nasional
baik transportasi darat, laut maupun udara sehingga dapat mengurangi
kesenjangan harga pangan pokok yang diakibatkan oleh permasalahan keterbatasan
transportasi nasional.
4)
Pada aspek konsumsi pangan nasional,
melalui:
a)
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan
serta mengupayakan terwujudnya penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat. Tujuan
penganekaragaman konsumsi pangan adalah agar terwujud pola konsumsi pangan
beragam, bergizi seimbang, dan aman, serta halal bagi yang dipersyaratkan.
b)
Pemerintah menetapkan kebijakan bidang gizi
untuk perbaikan status gizi masyarakat, meliputi perbaikan atau pengayaan gizi tertentu, serta
persyaratan khusus komposisi pangan untuk meningkatkan kandungan gizi olahan
tertentu.
c)
Pemerintah wajib melaksanakan penelitian dan
pengembangan pangan secara terus-menerus dengan mendorong dan mensinergikan penelitian
dan pengembangan pangan oleh pemerintah daerah, lembaga pendidikan, lembaga
penelitian, pelaku usaha, dan masyarakat. Penelitian dan pengembangan pangan bertujuan
untuk memajukan teknologi dan perumusan kebijakan pembangunan
pangan yang efektif dan efisien, serta mampu meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
d)
Perlu disosialisasikan aspek kebijakan
diversifikasi pangan dalam upaya memperluas pilihan masyarakat dalam kegiatan
konsumsi pangan sesuai dengan kebutuhan, kondisi lahan pertanian setempat serta
berdasarkan kearifan lokal. Saat ini konsumsi nasional kelompok padi-padian
yang seharusnya hanya 50 persen, namun pada kenyataannya masih sebesar 60,7%
diperkotaan dan 63,9% dipedesaan[6].
Definisi diversifikasi konsumsi pangan yang ditetapkan dalam PP nomor 68 tahun
2002 tentang ketahanan pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam
pangan dengan prinsip gizi seimbang. Untuk itu kebijakan pangan nasional
kedepan harus memuat cetak biru (blue
print) rencana jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang
terhadap kebijakan diversifikasi pangan nasional.
3. Penutup.
a. Kesimpulan.
1) Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan sampai dengan individu, yang tercermin dari tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, bergizi, merata, dan
terjangkau serta sesuai dengan keyakinan, budaya, dan selera untuk dapat hidup
sehat dan aktif. Saat ini ketersediaan pangan belum mampu mewujudkan ketahanan
pangan sampai dengan tingkat individu.
2) Selain
semakin terbatasnya kemampuan produksi untuk memenuhi permintaan pangan
nasional,
kedepan akan dihadapkan pula pada tantangan dalam menjaga stabilitas harga
pangan dan masih belum meratanya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Dibutuhkan kebijakan pangan nasional agar dapat mewujudkan ketahanan
pangan nasional.
3) Kepemimpinan nasional merupakan kelompok
pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional pada
bidang (sektor) profesi baik di supra struktur,
infra struktur maupun sub struktur, formal dan informal. Perlu optimalisasi kepemimpinan nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, melalui
langkah-langkah antara lain melaksanakan perencanaan pangan secara terintegrasi,
menjaga agar sumber penyediaan pangan utama berasal dari produksi dalam negeri,
yang didukung oleh cadangan pangan yang proporsional,
menjamin keterjangkauan pangan bagi
masyarakat, serta sosialisasi diversifikasi pangan dalam upaya memperluas
pilihan masyarakat dalam mengkonsumsi pangan berdasarkan kearifan lokal.
4) Dengan optimalisasi
peran kepemimpinan nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, terbukti dapat
mewujudkan ketahanan pangan nasional.
b. Saran.
1) Perlu segera
penetatap Rancangan Undang-Undang yang pro rakyat untuk pengganti Undang-Undang
nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang sudah tidak sesuai, sehingga diharapkan
pemenuhan hasil produksi pangan dapat lebih meningkat, dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
2) Perlu pembuatan cetak biru (blue print) yang lebih jelas dan membahas
seluruh aspek yang terkait dengan pengembangan diversifikasi konsumsi
pangan, yang selanjutnya dapat
dijabarkan dan diimplementasikan secara bertahap dan berkelanjutan dalam upaya
menjadi ketersediaan pangan dan ketahanan pangan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar