Kemandirian Industri Pertahanan
Kamis, 26 April 2012 | 02:19 WIB
Perkembangan
industri pertahanan di negara-negara Asia Timur menunjukkan adanya tiga
model utama industri pertahanan: kemandirian, produksi ceruk, dan model
rantai logistik global. Model kemandirian diterapkan oleh suatu
negara yang berambisi mendapatkan kemandirian pertahanan. Kemandirian
pertahanan ini diukur dari (1) kapasitas negara untuk menguasai
teknologi militer yang dibutuhkan untuk membuat sistem senjata, (2)
kapasitas finansial nasional untuk membiayai produksi sistem senjata,
serta (3) kapasitas industri nasional untuk memproduksi sistem senjata
di dalam negeri. Model ini akan tercapai jika suatu negara mampu
memiliki minimal 70 persen kapasitas teknologi, finansial, dan produksi
sistem senjata.
Untuk mencapai kemandirian pertahanan, suatu
negara harus mengembangkan rencana strategis pertahanan jangka panjang.
Komitmen jangka panjang tersebut, misalnya, tampak dari rencana China
untuk memproyeksikan diri menjadi kekuatan hegemonik pada tahun 2050.
Model
kedua adalah model produksi ceruk yang cenderung diterapkan oleh negara
yang berupaya mengurangi ketergantungan senjata terhadap produsen luar
negeri. Caranya dengan mengembangkan kapasitas nasional untuk menguasai
teknologi militer utama. Penguasaan teknologi militer ini terutama
diarahkan untuk membantu negara tersebut mengembangkan delapan sistem
senjata konvensional, yaitu (1) senjata kecil dan ringan, (2) tank kelas
utama, (3) kapal perang permukaan, (4) kapal selam, (5) pesawat tempur,
(6) helikopter serbu, (7) rudal, dan (8) sistem komunikasi dan
penginderaan militer. Untuk menerapkan model ini, suatu negara
harus memiliki komitmen melakukan investasi ke sektor industri
pertahanan, terutama dengan berupaya mendapatkan transfer teknologi
militer dari produsen senjata yang mapan. Strategi ini, misalnya, secara
efektif dilakukan Korea Selatan untuk mengembangkan kapal perang
permukaan, kapal selam, tank, dan pesawat tempur.
Model rantai
produksi global merupakan model ketiga, yang cenderung dilakukan oleh
negara-negara yang telah memiliki basis teknologi militer yang mapan,
tetapi tidak memiliki akses besar terhadap pasar senjata internasional.
Ketiadaan akses ini membuat negara-negara tersebut melakukan proses
rasionalisasi produksi senjata dengan cara mengintegrasikan produksi
senjatanya ke suatu konsorsium industri pertahanan global. Rasionalisasi
ini dilakukan dengan tiga metode utama. Pertama, penciptaan konsorsium
industri senjata di tingkat regional atau global. Kedua, mobilisasi
sumber finansial dari sektor swasta lintas negara untuk membiayai
investasi ke sektor industri pertahanan. Ketiga, penyebaran teknologi
militer dari produsen senjata utama ke anggota konsorsium.
Model
ini, antara lain, dilakukan oleh Australia yang telah mengonsolidasikan
Australian Defense Industry dengan Thales (Perancis), Australian
Aerospace Industry dengan EADS, dan Tenix Defense dengan BAE (Inggris).
Hal serupa dilakukan oleh Singapura dengan mengembangkan kerja sama
antara Thales dan Singapore Technologies Engineering (STEngg) untuk
membuat komponen-komponen sistem komunikasi dan penginderaan bagi kapal
perang Fregate kelas Lafayette. Kerja sama ini tidak hanya
menjadikan STEngg sebagai bagian dari rantai produksi Thales, tetapi
juga bagian dari rantai produksi kapal perang Eropa yang memanfaatkan
teknologi dari Thales.
Opsi untuk Indonesia
Dari
tiga model yang ada, model kemandirian merupakan model ideal untuk
melakukan modernisasi pertahanan. Model ini hanya bisa dicapai oleh
negara-negara yang memiliki status atau berambisi menjadi kekuatan utama
dunia yang ditopang oleh postur militer yang besar. Untuk dapat
menerapkan model kemandirian, empat strategi harus diterapkan Indonesia.
Strategi pertama, merumuskan rencana strategis pertahanan jangka
panjang. Rencana strategis ini harus bisa menggambarkan tiga
perencanaan utama. Pertama, evolusi kekuatan militer Indonesia menjadi
kekuatan utama di Asia Timur. Evolusi ini tidak saja menggambarkan
target pemenuhan kekuatan pertahanan minimal 2024, tetapi juga rencana
pengembangan postur pertahanan hingga 2050. Kedua, cetak biru
revitalisasi industri pertahanan yang berisi kebijakan umum pengembangan
industri pertahanan, strategi revitalisasi industri pertahanan 2024,
dan program kerja kemandirian industri pertahanan 2050. Ketiga, rencana
pengadaan persenjataan militer 2024 yang dipilah dalam bentuk rencana
pengadaan 2012-2014, 2014-2019, dan 2019-2024.
Strategi kedua,
membentuk komitmen politik anggaran jangka panjang untuk menjamin
kesinambungan program pengembangan industri pertahanan. Komitmen politik
anggaran ini dilakukan dengan menetapkan target alokasi anggaran
pertahanan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang secara bertahap
dinaikan dari 1 persen pada tahun 2014 menuju 2,5 persen pada tahun
2024. Komitmen politik anggaran ini juga harus disertai perumusan
kontrak-kontrak pengadaan jangka menengah yang bersifat mega-proyek dari
pemerintah ke industri pertahanan. Mega-proyek ini diarahkan untuk
membangun sistem senjata konvensional, seperti pesawat tempur, kapal
perang permukaan, kapal selam, tank, helikopter serbu, dan rudal, dalam
jumlah besar sehingga dapat memberikan kepastian dan kesinambungan
proses produksi untuk industri pertahanan nasional. Nilai nominal
kontrak pengadaan ini juga harus secara bertahap ditingkatkan dari 10
persen nilai seluruh pengadaan senjata pada tahun 2014 menjadi minimal
30 persen pada tahun 2024.
Strategi ketiga, melakukan konsolidasi
industri pertahanan nasional dengan cara menetapkan dua konsorsium
strategis: konsorsium industri penerbangan nasional serta konsorsium
industri pertahanan dan maritim nasional. Kedua konsorsium ini harus
membentuk rantai produksi persenjataan militer nasional yang melibatkan
industri nasional lain, termasuk industri menengah-kecil.
Strategi
keempat, merintis aliansi industri pertahanan di tingkat regional dan
global. Strategi ini memperbesar kemungkinan bagi Indonesia untuk secara
cepat mengadopsi teknologi militer terkini ke dalam proses pengadaan
persenjataan militer. Proses adopsi teknologi ini merupakan metode untuk
menerapkan model produksi ceruk yang dapat dijadikan tahapan transisi
untuk mencapai kemandirian pertahanan Indonesia.
Aliansi ini juga
dibentuk untuk memperbesar akses pasar senjata yang memungkinkan
industri pertahanan nasional menjadi bagian dari rantai produksi global.
Metode ini mengandalkan penerapan model rantai logistik global yang
juga dapat dijadikan tahapan transisi bagi pengembangan industri
pertahanan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar