MEWUJUDKAN TNI ANGKATAN LAUT YANG KUAT DAN DISEGANI

Selasa, 05 Juni 2012

Peran Kepemimpinan Nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan



OPTIMALISASI PERAN KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM MELAKSANAKAN KEBIJAKAN PANGAN DAPAT MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

1.         Pendahuluan          

a.            Latar Belakang Masalah.
           
Kepemimpinan adalah hubungan seseorang dengan pemimpinnya, dimana pemimpin tersebut dapat mempengaruhi untuk bekerja  bersama-sama secara ikhlas”. (George R. Terry)[1]. Sementara kepemimpinan nasional diartikan sebagai kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional didalam setiap gatra pada bidang profesi baik di supra struktur, infra struktur maupun sub struktur, baik formal maupun informal yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan dan mengerahkan segenap potensi kehidupan nasional (bangsa dan negara), dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang[2]. Pembangunan nasional dilaksanakan meliputi seluruh aspek kehidupan dengan tujuan terjaminnya ketersediaan sandang, pangan dan papan bagi seluruh rakyat Indonesia. 


Pangan merupakan kebutuhan dasar utama manusia, oleh karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu.  Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan sampai dengan individu, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta sesuai dengan keyakinan, budaya, dan selera, untuk dapat hidup sehat dan aktif. Saat ini ketersediaan pangan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan sampai dengan tingkat individu.
Tantangan pangan Indonesia semakin hari semakin kompleks. Pada satu sisi, peningkatan permintaan bahan pangan terus terjadi seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya daya beli dan selera masyarakat akan bahan pangan. Di sisi lain, penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya lahan, tambak dan air, menjadi kendala dan keterbatasan dalam meningkatkan kemampuan produksi komoditas pangan. BPS, Bappenas RI, dan PBB memperkirakan pada tahun 2050, penduduk Indonesia mencapai 2,1 kali jumlah penduduk tahun 2000 atau mencapai 434 juta jiwa. Itu artinya perlu ratusan juta haktar lahan dan inovasi-inovasi baru dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan ratusan juta mulut rakyat Indonesia tersebut. Seandainya kebutuhan akan pangan itu tidak dapat dipenuhi oleh negara, maka cepat atau lambat dimungkinkan akan terjadi kerusuhan sosial yang luar biasa hebat terkait dengan pemenuhan kebutuhan pangan itu sendiri.


b.            Identifikasi Masalah.

Selain semakin terbatasnya kemampuan produksi untuk memenuhi permintaan pangan nasional, kedepan akan dihadapkan pula pada tantangan dalam menjaga stabilitas harga pangan dan masih belum meratanya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi pada produk-produk pangan impor, Pemerintah Indonesia akan sangat rentan terhadap perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional. Gejolak harga ini bertambah buruk dimana belum meratanya pola distribusi antar daerah-antar waktu, dan juga ditengah tantangan fenomena perubahan iklim yang mengancam dunia. Instabilitas harga ini tentunya akan berdampak pada rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses pangan dengan harga yang tinggi.

Konsep  ketahanan pangan yang dianut Indonesia dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, Pasal 1 Ayat 17, menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Undang-Undang tentang pangan nasional sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bahwa perlu akses kepada setiap individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.   Sementara ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap rumah tangga atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu, untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat  serta kearifan lokal. Konsep ketahanan pangan nasional yang tercantum pada UU No.7 tahun 1996, memberi penekanan pada akses setiap rumah tangga terhadap pangan yang cukup, bermutu, dan harganya terjangkau, meskipun kata-kata rumah tangga belum menjamin setiap individu mendapat akses yang sama terhadap pangan.

c.                   Rumusan Pokok Masalah.

Implikasi kebijakan dari konsep ini adalah bahwa Pemerintah, di satu pihak, berkewajiban menjamin kecukupan pangan dalam arti , jumlah dengan mutu yang baik serta terjaganya stabilitas harga, dan di pihak lain dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya dari golongan berpendapatan rendah. Kompleksitas permasalahan yang berkaitan dengan pangan membutuhkan peran kepemimpinan dalam rangka mempengaruhi masyarakat untuk bekerja  bersama-sama dalam membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan  bagi kepentingan umum dan petani sehingga dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Rumusan pokok masalah berkaitan dengan peran kepemimpinan nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, antara lain kebijakan pangan masih belum menyentuh  kepentingan rakyat, walaupun prioritas pertama program Kabinet Indonesia Bersatu II pada Renstra tahun 2009 – 2014 adalah mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (prosperity) namun  jumlah penduduk yang masih berada dibawah garis kemiskinan masih cukup besar, perencanaan pangan masih belum terintegrasi, aspek ketersediaan, keterjangkauan dan konsumpsi pangan masih belum dibina dengan baik, sehingga perlu optimalisasi peran kepemimpinan nasional.

2.            Pembahasan.

a.            Teori Kepemimpinan dan Pengaruhnya Terhadap Pangan.

Memahami teori-teori kepemimpinan sangat besar artinya untuk mengkaji sejauh mana kepemimpinan dalam suatu organisasi telah dapat dilaksanakan secara efektif serta menunjang kepada produktifitas organisasi secara keseluruhan termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pengaruh terhadap ketahanan pangan. Seorang pemimpin negara maupun pemimpin daerah harus mengerti tentang teori kepemimpinan agar nantinya mempunyai referensi dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan ketahanan pangan.

Pada prinsipnya pengertian kepemimpinan nasional tidak jauh berbeda dari pengertian kepemimpinan terhadap organisasi, hanya luas cakupan dan landasan serta prioritasnya yang berbeda. Sementara ini kepemimpinan nasional diartikan adalah kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional didalam setiap gatra pada Asta Gatra pada bidang/sektor profesi baik di supra struktur, infra struktur maupun sub struktur, formal dan informal. Tujuan kepemimpinan adalah agar mampu melakukan proses memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki (empowerment all resources) bangsa menuju tercapainya cita-cita nasional sesuai moral & etika Pancasila dan UUD’45 ditengah perubahan dunia.
Dalam setiap aspek kepemimpinan, pada setiap langkah dan permasalahan ketahanan pangan selalu terdapat tiga unsur yang saling berkait yaitu[3] :
a.         Unsur manusia, yaitu manusia yang melaksanakan kegiatan memimpin atas sejumlah manusia lain atau manusia yang memimpin dan manusia yang dipimpin dalam kapasitas pemenuhan kebutuhan pangan. Unsur manusia sangat berperan dalam permasalahan pangan, terutama di negara yang sedang berkembang, hal ini tidak terlepas pada faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial, budaya turun temurun serta latar belakang pendidikan.

b.         Unsur sarana, yaitu prinsip dan teknik kepemimpinan yang digunakan dalam pelaksanaan kepemimpinan, termasuk bakat dan pengetahuan serta pengalaman. Dalam aspek ketahanan pangan, unsur sarana lebih dominan pada proses pengambilan keputusan atau berkaitan perundang-undangan tentang pangan.

c.         Unsur tujuan, merupakan sasaran kearah mana kelompok manusia tersebut digerakkan menuju kesuatu maksud tertentu yang hendak dicapai bersama. Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah mencapai ketahanan dalam bidang pangan dalam kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dari produksi pangan nasional yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, jumlah dan mutu, aman, merata dan terjangkau seperti diamanatkan dalam  Undang-Undang tentang pangan.  

b.            Permasalahan Kebijakan Pangan Nasional.

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam Deklarasi Roma tahun 1996 tentang ketahanan pangan dunia. Sebagai kebutuhan dasar dan hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Perbandingan antara kurangnya ketersediaan pangan dengan makin meningkatnya kebutuhan, dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi maupun politik. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah yang sedang berkuasa.

Pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras dan berbagai bahan pokok lainnya pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, telah berkembang menjadi krisis multi dimensi, yang selanjutnya memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Pangan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi berupa penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi, lingkungan yaitu menjaga tata guna air dan udara bersih serta sosial politik sebagai perekat bangsa, ketertiban dan keamanan masyarakat. Beras dan beberapa bahan pokok lainnya merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak, dan vitamin.

Ketersediaan beras sebagai komoditas pangan strategis, belum mampu mewujudkan ketahanan pangan sampai dengan tingkat individu, sehingga Pemerintah melaksanakan kebijakan-kebijakan diantaranya dengan impor beras. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), walaupun sejak tahun 2008 produksi beras nasional selalu surplus, tetapi impor beras terus dilakukan. Sampai bulan Juli tahun 2011[4], Pemerintah telah melakukan pengadaan beras melalui impor sebanyak 1,57 juta ton. Beras impor tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton dengan nilai USD 452,2 juta, dari Thailand sebanyak 665,8 ribu ton dengan nilai USD 364,1 juta.

Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangannya dari produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya semakin membesar dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria kecukupan konsumsi maupun persyaratan operasional logistik. Kegiatan pengelolaan pangan oleh Pemerintah seringkali mendapat kritik karena adanya ketidak-sempurnaan kegiatan-kegiatan intervensi itu sendiri, baik yang disebabkan oleh kelemahan dalam proses penyusunan kebijakannya maupun karena akibatnya yang akan menimbulkan distorsi pasar.  Intervensi akan dianggap rasional kalau dilakukan dalam keadaan defisit pangan atau jika terjadi surplus produksi yang berlebihan, dan jika infrastruktur pemasaran dan kelembagaan tidak cukup berkembang serta kompetitif untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Kemudahan mewujudkan ketersediaan pangan, stok pangan dunia yang tersedia serta kemungkinan alternatif baru bentuk program stabilisasi harga, mendorong berbagai pihak untuk selalu mengevaluasi kembali kebijakan pangan Pemerintah. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia sejak lama telah menetapkan bahwa ketahanan pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan nasional. Sampai sekarang pun, tujuan itu masih dilanjutkan seperti yang tertuang dalam RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) dan RPJM (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional).

c.            Optimalisasi Peran Kepemimpinan Nasional Dalam Melaksanakan Kebijakan Pangan Dapat Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional.

Berdasarkan tulisan Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas yang dimuat Harian Media Indonesia tanggal 3 Februari 2009 terdapat 5 masalah besar yang menghadang NKRI disamping Terorisme terhadap suksesnya Pembangunan Nasional adalah pertama, kemiskinan. kedua, lingkungan hidup. ketiga, utang. keempat, penegakan hukum. dan kelima, demokratisasi dan otonomi daerah[5]. Kemiskinan menjadi permasalahan terbesar, di Indonesia, kelaparan merupakan aspek yang paling menggambarkan kemiskinan. Seseorang mengalami kekurangan pangan atau kelaparan karena tidak adanya kemampuan untuk mempunyai cukup pangan. Secara lebih sederhana, kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan pangan atau papan yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup. World Bank menyebutkan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi standar hidup minimal dan merupakan kesenjangan dari hidup sederhana. Salah satu kunci mengakhiri kemiskinan yang juga disebut kemelaratan adalah dengan melibatkan dan memberi peran kepada keluarga miskin dalam pembangunan. Namun biasanya orang miskin memiliki keterbatasan dalam hal kepemilikan dan akses sumber daya, modal, infrastruktur, pengetahuan, dan kelembagaan. Mereka hanya memiliki aset yang sifatnya marjinal dan biasanya hidup di daerah terpencil atau di wilayah dengan fasilitas umum terbatas. Kemiskinan terjadi karena adanya kesenjangan pendapatan dengan pendapatan minimum untuk hidup secara layak, yang disebut sebagai kesenjangan kemiskinan. Dalam program penanggulangan kemiskinan, kesenjangan inilah yang harus dikurangi atau dihilangkan. Hilangnya kesenjangan tersebut menggambarkan terangkatnya tingkat kesejahteraan keluarga untuk lepas dari status miskin. Beras merupakan salah satu komponen penting dalam pengukuran kemiskinan. Dasar perhitungan garis kemiskinan adalah kebutuhan dasar kalori minimal 2.100 kkal. Dengan pertimbangan 24% dari 2.100 kkal tersebut berasal dari beras, maka jika harga beras naik, kebutuhan rupiah untuk membeli beras juga akan bertambah sehingga tingkat kemiskinan makin membesar. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa dari komponen garis kemiskinan yang terdiri dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-makanan, terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan komoditi bukan makanan.

Program Kabinet Indonesia Bersatu II pada Renstra tahun 2009 – 2014 yang menjadi agenda untuk direalisasikan, adalah mewujudkan 3 (tiga) agenda untuk lima tahunan, meliputi :
1)            Peningkatan kesejahteraan masyarakat (prosperity)
2)            Penguatan kualitas pembangunan demokrasi (democracy)
3)            Peningkatan kualitas penegakan hukum dan keadilan (justice)

Peningkatan kesejahteraan masyarakan merupakan agenda yang pertama dalam program Kabinet Indonesia Bersatu II untuk mengurangi jumlah penduduk yang masih berada dibawah garis kemiskinan, mengingat permasalahan kekurangan pangan sangat berkaitan dengan kemiskinan.

Kepemimpinan nasional Indonesia sebagai sebuah sistem, mengandung arti statik maupun dinamik. Dalam arti sistem yang bersifat statis, sistem kepemimpinan nasional adalah keseluruhan komponen bangsa secara hierarkhial vertikal maupun pada tatanan komponen bangsa secara horizontal dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Selanjutnya dalam sistem yang bersifat dinamik, sistem kepemimpinan nasional adalah keseluruhan aktifitas kepemimpinan nasional yang berporos dari dan komponen proses transformasi (interaksi moral, etika dan gaya kepemimpinan) dan akhirnya keluar dalam bentuk orientasi kepemimpinan yang berdimensi aman, damai, adil dan sejahtera.
Sistem kepemimpinan nasional harus bersumber dan berkembang dari paradigma nasional yang bermuara nilai-nilai moral dan etika kepemimpinan dan terkendali dengan gaya dan orientasi kepemimpinan serta tanggap terhadap perkembangan lingkungan strategis baik internal (nasional dan lokal) maupun eksternal (global dan regional). Karena itu visi, misi strategik dan orientasi kepemimpinan nasonal haruslah menjamin sentra Sistem Manajemen Nasional (Sismennas) dalam rangka meningkatkan ketahanan nasional untuk pencapaian tujuan dan cita-cita nasional.
Aktualisasi sistem kepemimpinan nasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat tergantung kepada para pelakunya yang menyatukan pola berpikir, bersikap dan bertindak dalam kerangka paham konstitusional, prinsip keterbukaan dan kebebasan bertanggung jawab, prinsip kebersamaan, fungsionalisasi kelembagaan, dan mekanisme keseimbangan, prinsip konsistensi dan kepastian hukum. Aktualisasi sistem kepemimpinan nasional dalam kerangka tersebut menjadi penting bagi mereka yang menjadi pelaku kepemimpinan nasional pada tatanan politik nasional (TPN), tatanan administrasi negara (TAN) dan tatanan laksana pemerintahan (TLP) pada era reformasi masa kini dan esok.
Sistem ketahanan pangan nasional mencakup aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan (distribusi) pangan serta aspek konsumsi. Optimalisasi peran kepemimpinan nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, antara lain:
1)         Melaksanakan perencanaan pangan secara terintegrasi, mulai dari pusat, daerah maupun sektoral, yang melibatkan partisipasi masyarakat. Peran dan fungsi Pemerintah Daerah dalam pembangunan pangan diatur sesuai dengan peraturan perundangan. Rencana pangan harus memperhatikan pertumbuhan dan sebaran penduduk, kebutuhan konsumsi pangan dan gizi, daya dukung sumber daya alam, kemajuan teknologi, kelestarian lingkungan, pengembangan SDM dalam pembangunan pangan, kebutuhan sarana dan prasarana pembangunan pangan, potensi dan budaya pangan lokal, rencana tata ruang wilayah serta rencana pembangunan nasional dan daerah.
2)         Pada aspek ketersediaan pangan, melalui:
a)         Pemimpin nasional dan aparat Pemerintahan pusat maupun daerah harus bertanggung jawab atas ketersediaan pangan di seluruh wilayah NKRI serta pengembangan produksi pangan lokal di daerah.
b)         Pemerintah harus mampu menjaga stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, cadangan pangan serta distribusi pangan pokok untuk menjamin kecukupan pangan masyarakat.
c)         Pemerintah berupaya mewujudkan produksi pangan dengan mengembangkan produksi pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya dan kearifan lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan sarana, prasarana dan teknologi,  mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif serta membangun kawasan sentra produksi pangan.
d)         Pemerintah harus mampu menjaga agar sumber penyediaan pangan utama berasal dari produksi dalam negeri, yang didukung oleh cadangan pangan yang proporsional.
e)         Pemasukan pangan dari luar negeri harus diatur sedemikian rupa agar jangan sampai mengganggu stabilitas harga pangan nasional, serta dilaksanakan tepat waktu agar jangan sampai dilaksanakan pada saat petani panen raya. Kebijakan impor pangan hanya dilaksanakan untuk kedaruratan serta dalam rangka memenuhi kebutuhan cadangan pangan nasional.
f)          Kepemimpinan nasional harus mampu melindungi dan memberdayakan petani dan nelayan sebagai produsen pangan.
g)         Pemerintah berkewajiban mengantisipasi dan menanggulangi ancaman produksi pangan, yang dapat menimbulkan gagalnya produksi pangan, melalui bantuan teknologi, bantuan pembiayaan maupun pengaturan regulasi yang berpihak kepada kepentingan nasional dalam rangka pemberdayaan petani.
3)        Pada aspek keterjangkauan pangan nasional, melalui:

a)            Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menjamin keterjangkauan pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan individu, meliputi aspek distribusi, pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok serta bantuan pangan.

b)            Pemerintah harus membuat kebijakan dalam pengendalian harga pangan pokok dalam rangka menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen, untuk melindungi pendapatan petani serta  menjaga daya beli konsumen, melalui penetapan harga di tingkat produsen dan konsumen, pengelolaan cadangan pangan Pemerintah, insentif perpajakan, kebijakan penerapan tarif dan bea masuk, peningkatan kelancaran distribusi serta pengendalian impor dan ekspor pangan.

c)             Mengoptimalkan Dewan Ketahanan Pangan Nasional dalam rangka memperbaiki sarana dan prasarana transportasi nasional baik transportasi darat, laut maupun udara sehingga dapat mengurangi kesenjangan harga pangan pokok yang diakibatkan oleh permasalahan keterbatasan transportasi nasional.

4)            Pada aspek konsumsi pangan nasional, melalui:

a)            Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta mengupayakan terwujudnya penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat. Tujuan penganekaragaman konsumsi pangan adalah agar terwujud pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang, dan aman, serta halal bagi yang dipersyaratkan.

b)            Pemerintah menetapkan kebijakan bidang gizi untuk perbaikan status gizi masyarakat, meliputi  perbaikan atau pengayaan gizi tertentu, serta persyaratan khusus komposisi pangan untuk meningkatkan kandungan gizi olahan tertentu.

c)             Pemerintah wajib melaksanakan penelitian dan pengembangan pangan secara terus-menerus dengan mendorong dan mensinergikan penelitian dan pengembangan pangan oleh pemerintah daerah, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, pelaku usaha, dan masyarakat. Penelitian dan pengembangan pangan bertujuan untuk memajukan teknologi dan perumusan kebijakan pembangunan pangan yang efektif dan efisien, serta mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.  

d)            Perlu disosialisasikan aspek kebijakan diversifikasi pangan dalam upaya memperluas pilihan masyarakat dalam kegiatan konsumsi pangan sesuai dengan kebutuhan, kondisi lahan pertanian setempat serta berdasarkan kearifan lokal. Saat ini konsumsi nasional kelompok padi-padian yang seharusnya hanya 50 persen, namun pada kenyataannya masih sebesar 60,7% diperkotaan dan 63,9% dipedesaan[6]. Definisi diversifikasi konsumsi pangan yang ditetapkan dalam PP nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan adalah upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Untuk itu kebijakan pangan nasional kedepan harus memuat cetak biru (blue print) rencana jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang terhadap kebijakan diversifikasi pangan nasional.


3.         Penutup.

a.         Kesimpulan.
1)         Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan sampai dengan individu, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta sesuai dengan keyakinan, budaya, dan selera untuk dapat hidup sehat dan aktif. Saat ini ketersediaan pangan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan sampai dengan tingkat individu.
2)         Selain semakin terbatasnya kemampuan produksi untuk memenuhi permintaan pangan nasional, kedepan akan dihadapkan pula pada tantangan dalam menjaga stabilitas harga pangan dan masih belum meratanya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Dibutuhkan kebijakan pangan nasional agar dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional.
3)         Kepemimpinan nasional merupakan kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional pada bidang (sektor) profesi baik di supra struktur, infra struktur maupun sub struktur, formal dan informal. Perlu optimalisasi kepemimpinan nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, melalui langkah-langkah antara lain melaksanakan perencanaan pangan secara terintegrasi, menjaga agar sumber penyediaan pangan utama berasal dari produksi dalam negeri, yang didukung oleh cadangan pangan yang  proporsional, menjamin keterjangkauan pangan bagi masyarakat, serta sosialisasi diversifikasi pangan dalam upaya memperluas pilihan masyarakat dalam mengkonsumsi pangan berdasarkan kearifan lokal.

4)         Dengan optimalisasi peran kepemimpinan nasional dalam melaksanakan kebijakan pangan, terbukti dapat mewujudkan ketahanan pangan nasional.


b.         Saran.   
1)         Perlu segera penetatap Rancangan Undang-Undang yang pro rakyat untuk pengganti Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang sudah tidak sesuai, sehingga diharapkan pemenuhan hasil produksi pangan dapat lebih meningkat, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional.

2)         Perlu pembuatan cetak biru (blue print) yang lebih jelas dan membahas seluruh aspek yang terkait dengan pengembangan diversifikasi konsumsi pangan,  yang selanjutnya dapat dijabarkan dan diimplementasikan secara bertahap dan berkelanjutan dalam upaya menjadi ketersediaan pangan dan ketahanan pangan nasional.


[1] Tim Pokja Kepemimpinan Lembaga Ketahanan Nasional RI, BS. Kepemimpinan modul 1, 2012, hal 9
[2]  Ibid
[3] Ibid Hal 17
[4] http://www.bps.go.id/ Rabu,2  Mei 2012, jam 10:40 wib.
[5] Tim Pokja BS. Kepemimpinan, 201 2, hal 6

[6] www.pse.litbangn.deptan.go.id Senin, 28 Mei 2012, jam 08:40 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar